Kitab Safinat al-Hukkam Perkembangan Kitab Tafsir Aceh
Biografi Penulis Kitab Safinat
al-Hukkam
Kitab safinat al-hukkam fi takhlis al-khassam ditulis oleh Taj al-Din bin Kamal al-Din bin Khatib Tarusan atas perintah sultan Alaidin Johansyah (1147-1174 H/1735-1760 M) yang diterima pada hari jum’at, 4 Muharram 1153 H. Karya yang judulnya bermakna “bahtera para hakim dalam menelesaikan berbagai perkara” merupakan sebuah magnum opus yang ditorehkan atas perintah sultan. Oleh karena itu, isi dari kitab tersebut memuat hal yang sangat urgen bagi raja.
Sistematika Penulisan
Dari segi sistematika penulisan,
kitab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup.
Pendahuluan berisi dua bagian, yaitu terminologi dan hal-hal yang berhubungan
dengan hakim. Pada bab isi, diuraikan tiga bab fikih yang sekiranya terjadi
sengketa akan menjadi kewenangan pengadilan untuk menyelesaikannya, yaitu
masalah jual beli, nikah dan hukum pidana. Sedangkan pada bab penutup, terdapat
permasalahan hukum faraid. Salah satu keunikan kitab ini dibanding dengan
kitab-kitab lama lain, adalah bab penutup yang di dalamnya terdapat angka-angka
an penjelasannya. Angka-angka tersebut berhubungan dengan penyelesaian masalah
faraid, transaksi dagang, zakat, pajak, cukai, dan sengketa perdagangan.
Alasan-alasan di atas mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh tentang kitab tersebut. Karena besar volumenya, maka hanya difokuskan pada satu sub-bab yang berkenaan dengan bughat. Problematika bughat ini terasa penting untuk dikaji dalam mencari frame hukum untuk mengidentifikasi bughat dan hukuman pelakunya, terutama dalam usaha menjaga kestabilan keamanan dan kenyamanan suatu negara. Kitab ini memberi gambaran historis bagaimana penerapan term ini secara praktis pada masa lalu, dan kemungkinan diadopsi atau dimodifikasi dalam konteks kekinian.
Subtansi tafsir
Al-Turusani melakukan penafsiran tentang beberapa hal dalam kitabnya. sebagai contoh , ia menafsirkan surah al-hujurat ayat 9, terkait dengan masalah bughat, yakni kalimah “baghat ihdahuma ala al-ukhra”. Bughat dimaknai sebagai sikap durhaka kepada sang raja. Itulah yang ditafsirkan al-turasani dengan “baghat ihdahuma ala al-ukhra” pada ayat tersebut.
Kekeliruan yang biasa dilakukan oleh pihak berwenang terhadap pelaku kejahatan adalah disebabkan kesalahan identifikasi. Oleh karena itu, al-turasani selalu mengawali pembicaraan dengan mengidetifikasi yang akan diuraikan, termasuk masalah bughat.
Kriteria bugah menurut al-turasani
Penafsiran lain terkait dengan bughat dapat dilihat dalam uraian berikut ini:
Bahwasanya ia mengenal akan hendak dibunuh orang akan usman ra dapat ditahannya akan dia karena dengki dan merebut kerajaannya dan menahan zakat dari pada Abu Bakar ra ra bahwasanya mereka itu tiada memberi zakat bagi yang lain daripada Nabi saw serta ada bagi mereka itu syaukah yakni kekerasan pada melawan raja.
Terjadi perbedaan pendapat
Pendapat ini berbeda dengan yang dipahami oleh pengikut
Al-syafi’i, menurut mazhab ini, pemerintah disyaratkan berlaku adil. Dengan kata lain, bila ada kelompok menentang pemerintah yang zalim, tidak dapat dikatagorikan sebagai bughat. Sementara al-turasani lebih sependapat dengan dengan pengikut Hanbali yang mengatakan bahwa pemimpin atua pemerintah yang ditentang disini tidak disyaratkan adil. Seorang pemimpin, baik adil atau zalim harus ditaati oleh rakyatnya.
landasan al-turasani merujuk kepada hadis:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال : من خرج من الطاعة وفارق الجماعةفمات مات ميتةجاهلية
“Dari abu Hurairah ra, Nabi bersabda: barang siapa yang meninggalkan dan memisahkan diri dari jamaah, lalu ia mati, matinya itu dalam keadaan jahiliah
Durhaka kepada raja dalam istilah fiqih disebut al-khuruj ala al-imam. Maksudnya adalah menyalahi atau melawan raja dan melakukan aksi untuk membebaskan diri dari naungannya, atau tidak melaksankan kewajiban sebagai warga negara baik terkait dengan hak Allah (public interest) atau hak individu. Dalam ensiklopedi islam, bughat adalah sikap menentang atau tidak taat sekelompok muslim kepada khalifah atau pemerintah karena terdapat perbedaan paham dan pandangan mengenai masalah yang menyangkut kenegaraan. Dalam pengertian modern, bughat disamakan dengan pemberontak dalam suatu negara yang berdaulat.
Definisi al-turasani tentang bughat menurut penulis sangat umum, jika dibandingkan dengan pengikut hanafi dan maliki. Menurut pengikut hanafi, bughat adalah kelompok yang memiliki kriteria:
Sementara pengikut maliki, mendefinisikan bughat sebagai kelompok yang melakukan:
Jika dikaji lebih jauh, maka al-turasani memberikan definisi yang mirip dengan
Hanbali dan Ahmad bin Muhammad ali bin hajr Al-Maliki Al-Haytsami. Namun
al-turasani tidak menerangkan bagaimana bentuk negara yang apabila rakyat
melanggar atau melawan pemimpinnya dianggap bughat. Boleh jadi al-Turasani
beranggapan tidak ada bentuk atau format baku tentang negara itu sendiri.
Sepangjang sejarah islam, negara pada masa awal dipegang oleh Nabi Muhammad,
kemudian dilanjutkan dengan khulafa al-rasyidin yang dipilih oleh umat. Fase
berikutnya, bani umayyah dan abbasiyah yang kelihatannya bersifat kerajaan
karen a pemimpin negara berlaku turun temurun. Ini menunjukan dinamika yang
luarbiasa, baik dari segi bentuk negara maupun tata cara pelaksanaan
pemerintahan.
Hukuman Terhadap Bughat
Hukuman yang dikenakan kepada bughat dapat dibagi menjadi dua, yaitu perdata dan pidana. Terkait dengan hukuman perdata, dalam ditelusuri dari pernyataan al-Tarusani berikut ini
Dan telah ijmak segala sahabat Nabi SAW atas memerang mereka itu maka wajiblah atas segala raja-raja memerang akan mereka itu maka jika ruju mereka itu kepada thaifah yang shalih niscaya diterima taubat itu dan ditinggalkanlah memerang mereka itu. Dan bahwasanya yang bughat itu tiada mereka fasiq, maka sebab itulah diluaskan hukum mereka itu dan syahadat mereka itu dan nikah mereka itu dan segala tassarruf, tetapi mereka itu bersalah, pada mereka itu takwil juga.
Terkait dengan hukuman perdata, al-Tarusani mengklaim bahwa telah terjadi ijma’para sahabat tentang hukuman terhadap bughat, hukumannya adalah mesti diperangi. Namun bila mereka melakukan perdamaian dan kembali kepangkuan Negara yang diistilahkan dengan kelompok masyarakat yang baik dantaat hukum, maka mereka kembali dipertahankan sebagai rakyat yang baik. Hal tersebut bertujuan untuk:
Secara eksplisit, al-Tarusani menjelaskan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada bughat berupa takzir. Hal tersebut dipahami dari keterangan: “meninggalkan dari pada mengingat baginya pada pekerjaan taat dan mubah atau menahan mereka itu akan hak yang wajib atas mereka itu seperti qisas atau had atau lain dari pada keduanya”
Metode
dan Corak Penafsiran
Tafsir ini bersifat tematis karena
mengangkat kasus tertentu yang sesuai dengan kebutuhan fiqh, karenanya corak
penafsirannya adalah fiqhi. Metode tematis atau yang disebut juga maudu’i
merupakan usaha al-Turasi untuk mendapatkan ayat-ayat yang senada dalam membaca
topik tertentu. Ayat-ayat yang dihimpun tersebut ditafsirkan dengan istantiq
al-Qur’an. Penafsiran juga dikuatkan dengan hadist-hadist Nabi Saw sebagai
penjelasan al-Qur’an.
Post a Comment for "Kitab Safinat al-Hukkam Perkembangan Kitab Tafsir Aceh "